PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH, UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DAN TINDAK PIDANA KORUPSI (BAGIAN 7)

3 Komentar

Catatan Pojok

YUSRAN  LAPANANDA, SH. MH
Kepala  Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.

jail 2

Penulis berpendapat dan berpemahaman, selain hal-hal yang sudah disajikan sebelumnya terdapat hal-hal yang menjadi keterpengaruhan atau menjadi dasar pertimbangan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara menghapus pidana atau menjadi dasar dalam menghentikan proses suatu kasus tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:

  1. bahwa pembentukan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, belum menjangkau akan dibentuknya 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara sehingga tidak memberi penjelasan bentuk pengembalian kerugian sebagaimana dimaksud dalam 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara;
  2. bahwa kita harus menghormati dan menghargai 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur pengembalian kerugian keuangan Negara, yang mewajibkan pelaku (bendahara dan pegawai negeri bukan bendahara) untuk mengembalikan kerugian negara, di lain pihak UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, tidak mengakui proses pengembalian kerugian keuangan negara dapat menghapus pidana atau membebaskan pelaku dari tindak pidana korupsi;
  3. bahwa pengembalian kerugian keuangan negara melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara sejak berlakunya 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan beserta peraturan pelaksanaannya termasuk dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti rugi Keuangan dan Barang Daerah telah dilakukan melalui suatu lembaga TPKN/D atau Majelis Tuntutan Berbendaharaan dan MP-TGR (Majelis Pertimbangan Tuntutan Ganti Rugi) sehingga proses penyelesaian ganti kerugian Negara melalui lembaga ini yang juga dibentuk dengan Undang-Undang harusnya menjadi pertimbangan para praktisi hukum;
  4. bahwa berdasarkan ilmu perundang-undangan dinyatakan bahwa apabila suatu materi yang diatur dalam suatu undang-undang, kemudian diatur kembali dalam undang-undang yang baru, maka ketentuan yang lama tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi sejak mulai berlakunya ketentuan dalam undang-undang yang baru. Mengenai berlakunya ketentuan yang baru dalam undang-undang meniadakan ketentuan yang lama dalam undang-undang dikenal asas undang-undang yang berlaku kemudian, meniadakan undang-undang yang dahulu (lex posterior derogate lege priori), artinya suatu materi yang telah diatur dalam suatu undang-undang, kemudian materi itu diatur kembali dalam undang-undang yang baru maka sejak saat mulai berlakunya undang-undang baru itu ketentuan dahulu yang mengatur materi yang sama tidak berlaku lagi. Berkenaan dengan asas tersebut maka 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan beserta peraturan pelaksanaannya yaitu pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara, dan Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara, yang dibentuk setelah berlakunya Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 dapat meniadakan ketentuan ini;
  5. bahwa dari banyaknya permohonan banding dan permohonan kasasi maupun di dalam pembelaan terdakwa perkara tindak pidana korupsi pada pengadilan pertama masih mengharapkan dan mendalilkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara menjadi dasar dibebaskannya terdakwa dari tuntutan oleh karena unsur kerugian negara tidak terpenuhi lagi, namun dalil-dalil ini selalu dibenturkan atau diperhadapkan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, dengan pengabaian pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003, dan ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 UU Nomor 1 Tahun 2004, serta UU Nomor 15 Tahun 2004, PP Nomor 58 Tahun 2005, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dan Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara.

Dari keseluruhan pembahasan mengenai “Pengembalian kerugian negara/daerah, unsur merugikan keuangan negara dan tindak pidana korupsi”, penulis berkesimpulan bahwa para akademisi/pemikir hukum, pemerhati hukum, dan lebih khusus para praktisi hukum dapat menghormati dan menghargai “pengembalian kerugian keuangan negara” melalui suatu proses penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 melalui lembaga TPKN/D atau Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan oleh Instansi Pemerintah lainnya (departemen/kementerian/lembaga pemerintah non departemen/sekretariat jenderal lembaga negara/pimpinan lembaga lain/gubernur/bupati/walikota) berdasarkan peraturan perundang-undangan masing-masing yang merupakan “perintah”, dan pelaksanaan serta didasarkan pada 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya, melalui MP-TGR (Majelis Pertimbangan Tuntutan Ganti Rugi).

Jika hal ini tidak menjadi pertimbangan, maka dikhawatirkan pengembalian kerugian keuangan Negara melalui proses TP-TGR yang dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Walikota/Bupati tidak akan dipatuhi oleh pelaku dengan alasan bahwa pelaku sia-sia belaka mengembalikan kerugian keuangan negara namun akhirnya diperhadapkan dengan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.

(Selesai)

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH, UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DAN TINDAK PIDANA KORUPSI (BAGIAN 6)

1 Komentar

Catatan Pojok

YUSRAN  LAPANANDA, SH. MH
Kepala  Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.

penjara6

b. Pemahaman pengembalian kerugian keuangan Negara menghapus/membebaskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi, menghentikan proses penyelidikan/penyidikan/ penuntutan, dan menjadi dasar tidak ditindak lanjutinya laporan atau hasil operasi intelejen tindak pidana korupsi.

Pemahaman ini lebih dipengaruhi oleh pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 UU Nomor 1 Tahun 2004 serta UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara, dan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, dengan pertimbangan hukum bahwa meskipun kerugian Negara/Daerah Tingkat II Sikka sudah dikembalikan oleh terdakwa, tetapi sifat melawan hukum dari perbuatan hukum terdakwa tetap ada dan tidak hapus dan tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf atas kesalahan terdakwa serta terdakwa tetap dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Putusan Mahkamah Agung RI ini sudah menjadi yurisprudensi dan sampai saat ini menjadi pegangan maupun pedoman sebagian para pembuat/penyusun Undang-Undang, sebagian praktisi hukum terutama para penyidik, penuntut umum, maupun para hakim, sebagian akademisi/pemikir hukum, dan sebagian pemerhati hukum. Seyogyanya dalam “meyurisprudensikan” atau mempertahankan suatu Putusan Mahkamah Agung RI sebagai suatu yurisprudensi haruslah menelaah atau mengkajinya secara komprehensif termasuk mempertimbangkan rasa keadilan sehingga atas Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994 “sebagai yurisprudensi dapat dilakukan terobosan hukum yang baru”.

Untuk maksud tersebut, marilah secara bersama kita kaji dan telaah kasus tindak pidana korupsi di Daerah Tingkat II Sikka termasuk penerapan pasal 2, pasal 3 dan pasal 4 beserta penjelasannya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, yaitu sebagai berikut:

  1. bahwa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1401K/Pid/1992 yang diputuskan pada tanggal 29 Juni 1994, dengan dasar hukum berpedoman pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1401K/Pid/1992 ini sudah tidak relevan lagi dengan pengaturan UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, oleh karena UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 16 Agustus 1999;
  2. bahwa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1401K/Pid/1992 yang diputuskan pada tanggal 29 Juni 1994, berlaku jauh sebelum terbitnya 3 (tiga) UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dan Perda/Perkada tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara;
  3. bahwa esensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994 dan Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor: 18/Pid/1992/P.T.K. tanggal 25 Maret 1992, bahwa pengembalian kerugian Negara oleh terdakwa saat itu dilakukan tidak melalui proses penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah dan/atau pengembalian kerugian Negara sebagaimana yang diatur dalam UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dan Perda/Perkada tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara. Sehingga sangat berbeda dengan pengembalian kerugian Negara yang dilaksanakan saat ini yang dilakukan melalui proses penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah melalui TP-TGR (tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi);
  4. bahwa pasal 2, pasal 3, dan pasal 4 beserta penjelasannya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, dibentuk jauh sebelum UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya yaitu pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 UU Nomor 1 Tahun 2004 serta UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dan Perda/Perkada tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara.

Dari hal-hal yang disajikan di atas maka tentunya dapat menjadi suatu referensi baru bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapus pidana berdasarkan pasal Pasal 4 beserta penjelasannya UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, jika diperhadapkan dengan 3 (tiga) paket Undang Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya, perlu menjadi pertimbangan bagi pembuat/penyusun Undang-Undang, sebagian praktisi hukum terutama para penyidik maupun para hakim, sebagian akademisi/pemikir hukum, dan sebagian pemerhati hukum di dalam memutuskan suatu kasus tindak pidana korupsi yang sudah dikembalikan kerugian keuangan negaranya.

(bersambung)

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH, UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DAN TINDAK PIDANA KORUPSI (BAGIAN 5)

2 Komentar

Catatan Pojok

YUSRAN  LAPANANDA, SH. MH
Kepala  Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.

penjara2Di dalam penerapan penjelasan pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”, para praktisi hukum yaitu penuntut umum di dalam menuntut terdakwa/pelaku tindak pidana korupsi, dan para hakim di dalam memutus suatu perkara tindak pidana korupsi yang sudah ada pengembalian kerugian keuangan negara agar mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan dengan memperhatikan dan/atau membedakan kadar atau tingkat kesadaran, kemauan maupun i’tikad baik dan kewajaran dari rangkaian proses penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah baik yang dilakukan melalui proses TP-TGR (tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi), maupun tidak melalui melalui proses TP-TGR, dengan konstruksi sebagaimana telah dibahas sebelumnya, yaitu sebagai berikut:

  1. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah, dilaksanakan pada saat sementara dilakukan pemeriksaan atau belum diterbitkannya LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) Sementara atau belum diterbitkannya Pokok-pokok Hasil Pemeriksaan, baik pemeriksaan oleh BPK maupun Inspektorat, namun pihak bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara sudah membayarnya secara angsuran atau melunasinya;
  2. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah, dilakukan berdasarkan informasi sementara (LHP Sementara atau Pokok-pokok Hasil Pemeriksaan), baik pemeriksaan oleh BPK maupun Inspektorat, namun pihak bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara sudah membayarnya secara angsuran atau melunasinya;
  3. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah dilakukan setelah terbitnya LHP melalui proses TPNKN/D untuk bendaraha dalam jangka waktu untuk 40 (empat puluh) hari sejak SKTJM (Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak) ditandatangani, SK Pembebanan Kerugian Negara Sementara dan SK PBW (Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu) dalam jangka waktu untuk 6 (enam) bulan, serta SK Pencatatan;.
  4. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah, dilakukan setelah terbitnya LHP melalui proses MP-TGR dan sudah terbitnya Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah untuk pegawai negeri bukan bendahara dalam jangka waktu untuk 24 (dua puluh empat) bulan sejak SKTJM ditandatangani, Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara (SKP2KS) dan Surat Keputusan Pembebanan (SKP) dalam jangka waktu untuk 24 (dua puluh empat) bulan serta SK Pencatatan;
  5. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah, oleh bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara, namun sudah melewati jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d, namun masih ada i’tikad baik tetapi belum lunas;
  6. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah oleh bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara, namun sudah melewati jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d, namun tidak ada i’tikad baik/mengalami kemacetan atau belum lunas;
  7. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah oleh bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara, namun sudah melewati jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d, namun tidak ada i’tikad baik belum membayar sama sekali atau nihil;
  8. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah oleh bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara, namun sudah melewati jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d, dan mengembalikan kerugian negara/daerah atau membayar lunas setelah mengetahui atau sudah dilakukan penyelidikan;
  9. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah oleh bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara, namun sudah melewati jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d, dan mengembalikan kerugian negara/daerah atau membayar lunas setelah mengetahui atau sudah dilakukan penyidikan/penuntutan;
  10. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah oleh bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara, namun sudah melewati jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d, dan mengembalikan kerugian negara/daerah atau membayar lunas setelah dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan (dakwaan, pembuktian, tuntutan/pembelaan/jawaban, putusan);
  11. Pengembalian ganti kerugian negara/daerah, dengan membayar lunas setelah mengetahui atau sudah dilakukan penyelidikan/penyidikan/penuntutan/pemeriksaan di sidang pengadilan (dakwaan, pembuktian, tuntutan/pembelaan/jawaban, putusan).

Tentunya dengan suatu keinginan dan harapan, yaitu lebih pada perhatian pengembalian kerugian melalui proses TP-TGR sebagaimana yang diatur dalam  UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara, dan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara, dibandingkan dengan pengembalian kerugian negara tidak melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara/daerah disebabkan oleh pengembalian ganti kerugian negara/daerah dengan membayar lunas setelah mengetahui atau sudah dilakukan penyelidikan/penyidikan/penuntutan/pemeriksaan di sidang pengadilan (dakwaan, pembuktian, tuntutan/pembelaan/jawaban, putusan).

Demikian pula terhadap besar dan kecilnya keringanan hukuman atau pidananya sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 4 “Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”, tentunya haruslah memenuhi rasa keadilan, dengan klasifikasi pada strata frasa meringankan dan memberatkan.

(bersambung)

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH, UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DAN TINDAK PIDANA KORUPSI (BAGIAN 4)

2 Komentar

Catatan Pojok

YUSRAN  LAPANANDA, SH. MH
Kepala  Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.

penjara 4

Terhadap pengelompokkan pemahaman atas ketentuan pasal 4 beserta penjelasannya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, dan atas ketentuan pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 UU Nomor 1 Tahun 2004,  dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara, penulis akan membahasnya ke dalam 2 (dua) bagian pembahasan, yaitu sebagai berikut:

a. Pemahaman pengembalian kerugian negara/daerah tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, pengembalian kerugian negara/daerah menjadi barang bukti terjadinya tindak pidana korupsi, dan pengembalian kerugian negara/daerah hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Pemahaman ini lebih dipengaruhi oleh ketentuan pasal 2, pasal 3, dan pasal 4 beserta penjelasannya UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002. Menurut pemahaman ini, sebenarnya ketentuan pasal 4 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”, ini tidak perlu ada atau tidak perlu diatur lagi atau tidak perlu dimunculkan lagi, oleh karena perumusan ketentuan pasal 2 dan pasal 3 merupakan tindak pidana atau delik formal yang artinya jika pelaku tindak pidana telah memenuhi semua unsur-unsur dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3 maka pengembalian kerugian keuangan negara tidak berpengaruh pada unsur kerugian negara. Oleh karena UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 menganut rumusan secara formal yang berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, namun pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Dalam arti, jika unsur kerugian negara terbukti maka apakah kerugian negara telah atau belum dikembalikan oleh pelaku tindak pidana korupsi tidaklah menjadi permasalahan.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut: (1) setiap orang; (2) secara melawan hukum; (3) memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; (4) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi pasal 3 adalah sebagai berikut: (1) setiap orang; (2) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (3) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (4) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Munculnya ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 4 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”, lebih disebabkan untuk menghindari adanya pemahaman bahwa pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara dapat menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.

Pemahaman ini, di antara praktisi hukum sempat dan masih menimbulkan perbedaan pemahaman. Di lain pihak, oleh karena dengan mengembalikan kerugian negara maka salah satu unsur tindak pidana korupsi yaitu unsur kerugian negara sudah tidak terpenuhi lagi. Sebagai contoh, sewaktu masih berlakunya UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor: 18/Pid/1992/P.T.K. tanggal 25 Maret 1992 yang memutuskan bahwa tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, oleh karena kerugian keuangan Negara/Daerah Tingkat II Sikka sebagai akibat dari perbuatan terdakwa telah dikembalikan sehingga kerugian keuangan Negara/Daerah Tingkat II Sikka sudah tidak dirugikan lagi.

Pemahaman lainnya, pada tingkat kasasi, atas Putusan Pengadilan Tinggi Kupang dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI dengan putusannya  Nomor: 1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, dengan pertimbangan hukum bahwa meskipun kerugian Negara/Daerah Tingkat II Sikka sudah dikembalikan oleh terdakwa, tetapi sifat melawan hukum dari perbuatan hukum terdakwa tetap ada dan tidak hapus dan tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf atas kesalahan terdakwa serta terdakwa tetap dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dari kedua putusan yang diputuskan oleh para praktisi hukum (hakim) tersebut baik Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor: 18/Pid/1992/P.T.K. tanggal 25 Maret 1992 maupun Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, sangat jelas di antara sesama praktisi hukum (hakim) masih terdapat perbedaan pemahaman di dalam mempertimbangkan pengembalian kerugian negara/daerah dapat membebaskan terdakwa dari segala tuntutan.

Terlepas dari, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi, namun penjelasan pasal 4 memberi jaminan bahwa pengembalian kerugian Negara dapat meringankan hukumannya/pidananya. Hal ini diatur di dalam penjelasan pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”.

Di dalam penerapan penjelasan pasal 4 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”, para praktisi hukum yaitu penuntut umum di dalam menuntut terdakwa/pelaku tindak pidana korupsi, dan para hakim di dalam memutus suatu perkara tindak pidana korupsi yang sudah ada pengembalian kerugian keuangan negara agar mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan dengan memperhatikan dan/atau membedakan kadar atau tingkat kesadaran, kemauan maupun i’tikad baik dan kewajaran dari rangkaian proses penyelesaian ganti kerugian negara/daerah baik yang dilakukan melalui proses TP-TGR (tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi), maupun tidak melalui melalui proses TP-TGR.

(bersambung)

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH, UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DAN TINDAK PIDANA KORUPSI (BAGIAN 3)

Tinggalkan komentar

Catatan Pojok

YUSRAN  LAPANANDA, SH. MH
Kepala  Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.

penjara5

Catatan kali ini merupakan lanjutan pembahasan mengenai “pengembalian kerugian negara/daerah, unsur merugikan keuangan negara dan tindak pidana korupsi”, berikut ini lanjutannya.

2. Unsur Merugikan Keuangan Negara dan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan mengembalikan kerugian negara/daerah, maka sangat besar keinginan dan harapan dari pelaku atau tertuntut baik bendahara maupun pegawai negeri bukan bendahara tidak terdapatnya lagi kerugian keuangan negara/daerah yang berimplikasi pada tidak terpenuhinya lagi salah satu unsur tindak pidana korupsi yakni unsur merugikan keuangan negara. Namun di saat kita telah dan akan/sementara mengembalikan kerugian negara/daerah kita dihadapkan dengan ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, “Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.

Adapun ketentuan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, adalah sebagai berikut: pasal 2, “(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.

Dan pasal 3, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Demikian pula di dalam penjelasan pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 ditegaskan, “Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”.

Dari ketentuan pasal 4 dan penjelasan pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, dapat dipahami bahwa:

  1. Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi;
  2. Ketentuan pasal 4 hanya berkaitan dengan pasal 2 dan pasal 3 dan tidak berlaku terhadap tindak pidana korupsi lainnya yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002;
  3. Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut;
  4. Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Atas ketentuan pasal 4 beserta penjelasan pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, dan ketentuan pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan ketentuan pasal 59 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, serta Penjelasan Umum angka 6 “Penyelesaian Kerugian Negara” Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, maka di antara para pembuat/penyusun Undang-Undang, praktisi hukum, akademisi/pemikir hukum, dan pemerhati hukum terdapat perbedaan pandangan, pemahaman dan penafsiran hukum atas ketentuan tersebut di atas. Menurut pemahaman penulis penafsiran atas pengembalian/penggantian kerugian Negara kaitannya dengan pemidanaan terbagi ke dalam 6 (enam) kelompok pemahaman, yaitu:

  1. Kelompok pemahaman kesatu, menyatakan pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana artinya penyelidikan/penyidikan/penuntutan/pemeriksaan di sidang pengadilan (dakwaan, pembuktian, tuntutan/pembelaan/jawaban, putusan) tetap dilakukan walaupun kerugian keuangan Negara sudah dikembalikan;
  2. Kelompok pemahaman kedua, menyatakan pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara malahan menjadi barang bukti terjadinya tindak pidana korupsi;
  3. Kelompok pemahaman ketiga, menyatakan pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan;
  4. Kelompok pemahaman keempat, menyatakan pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara menghapus/membebaskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi;
  5. Kelompok pemahaman kelima, menyatakan pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara menghentikan proses penyelidikan/penyidikan/penuntutan;
  6. Kelompok pemahaman keenam, menyatakan pengembalian kerugian keuangan Negara menjadi dasar tidak ditindaklanjutinya laporan atau hasil operasi intelijen tindak pidana korupsi.

Terhadap pengelompokkan pemahaman atas ketentuan pasal 4 beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, dan atas ketentuan pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, penulis akan membahasnya ke dalam 2 (dua) bagian pembahasan.

(bersambung) 

Older Entries