Catatan Pojok
YUSRAN LAPANANDA, SH. MH
Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.
Penulis berpendapat dan berpemahaman, selain hal-hal yang sudah disajikan sebelumnya terdapat hal-hal yang menjadi keterpengaruhan atau menjadi dasar pertimbangan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara menghapus pidana atau menjadi dasar dalam menghentikan proses suatu kasus tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:
- bahwa pembentukan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, belum menjangkau akan dibentuknya 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara sehingga tidak memberi penjelasan bentuk pengembalian kerugian sebagaimana dimaksud dalam 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara;
- bahwa kita harus menghormati dan menghargai 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur pengembalian kerugian keuangan Negara, yang mewajibkan pelaku (bendahara dan pegawai negeri bukan bendahara) untuk mengembalikan kerugian negara, di lain pihak UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, tidak mengakui proses pengembalian kerugian keuangan negara dapat menghapus pidana atau membebaskan pelaku dari tindak pidana korupsi;
- bahwa pengembalian kerugian keuangan negara melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara sejak berlakunya 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan beserta peraturan pelaksanaannya termasuk dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti rugi Keuangan dan Barang Daerah telah dilakukan melalui suatu lembaga TPKN/D atau Majelis Tuntutan Berbendaharaan dan MP-TGR (Majelis Pertimbangan Tuntutan Ganti Rugi) sehingga proses penyelesaian ganti kerugian Negara melalui lembaga ini yang juga dibentuk dengan Undang-Undang harusnya menjadi pertimbangan para praktisi hukum;
- bahwa berdasarkan ilmu perundang-undangan dinyatakan bahwa apabila suatu materi yang diatur dalam suatu undang-undang, kemudian diatur kembali dalam undang-undang yang baru, maka ketentuan yang lama tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi sejak mulai berlakunya ketentuan dalam undang-undang yang baru. Mengenai berlakunya ketentuan yang baru dalam undang-undang meniadakan ketentuan yang lama dalam undang-undang dikenal asas undang-undang yang berlaku kemudian, meniadakan undang-undang yang dahulu (lex posterior derogate lege priori), artinya suatu materi yang telah diatur dalam suatu undang-undang, kemudian materi itu diatur kembali dalam undang-undang yang baru maka sejak saat mulai berlakunya undang-undang baru itu ketentuan dahulu yang mengatur materi yang sama tidak berlaku lagi. Berkenaan dengan asas tersebut maka 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan beserta peraturan pelaksanaannya yaitu pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara, dan Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara, yang dibentuk setelah berlakunya Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 dapat meniadakan ketentuan ini;
- bahwa dari banyaknya permohonan banding dan permohonan kasasi maupun di dalam pembelaan terdakwa perkara tindak pidana korupsi pada pengadilan pertama masih mengharapkan dan mendalilkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara menjadi dasar dibebaskannya terdakwa dari tuntutan oleh karena unsur kerugian negara tidak terpenuhi lagi, namun dalil-dalil ini selalu dibenturkan atau diperhadapkan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, dengan pengabaian pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003, dan ketentuan pasal 59 serta Penjelasan Umum angka 6 UU Nomor 1 Tahun 2004, serta UU Nomor 15 Tahun 2004, PP Nomor 58 Tahun 2005, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dan Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara.
Dari keseluruhan pembahasan mengenai “Pengembalian kerugian negara/daerah, unsur merugikan keuangan negara dan tindak pidana korupsi”, penulis berkesimpulan bahwa para akademisi/pemikir hukum, pemerhati hukum, dan lebih khusus para praktisi hukum dapat menghormati dan menghargai “pengembalian kerugian keuangan negara” melalui suatu proses penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 melalui lembaga TPKN/D atau Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan oleh Instansi Pemerintah lainnya (departemen/kementerian/lembaga pemerintah non departemen/sekretariat jenderal lembaga negara/pimpinan lembaga lain/gubernur/bupati/walikota) berdasarkan peraturan perundang-undangan masing-masing yang merupakan “perintah”, dan pelaksanaan serta didasarkan pada 3 (tiga) paket Undang-Undang Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya, melalui MP-TGR (Majelis Pertimbangan Tuntutan Ganti Rugi).
Jika hal ini tidak menjadi pertimbangan, maka dikhawatirkan pengembalian kerugian keuangan Negara melalui proses TP-TGR yang dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Walikota/Bupati tidak akan dipatuhi oleh pelaku dengan alasan bahwa pelaku sia-sia belaka mengembalikan kerugian keuangan negara namun akhirnya diperhadapkan dengan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.
(Selesai)
Komentar