Harian Gorontalo Post (Persepsi) Selasa, 25 Maret 2024 : Memaknai Kemampuan Keuangan atau Kapasitas Fiskal Daerah dalam Pemberian THR, Gaji13 & TPP

Tinggalkan komentar

Memaknai Kemampuan Keuangan atau Kapasitas Fiskal Daerah dalam Pemberian THR, Gaji13 & TPP

Dr. YUSRAN LAPANANDA, SH., MH.
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah

kkd NEW

PENDAHULUAN

Secara umum terbitnya PP 14 Thn 2024 ttg Pemberian THR & Gaji13 bagi ASN disambut antusias kalangan ASN & direspon positif kalangan masyarakat. Akan tetapi tidak bagi ASN & masyarakat dibeberapa daerah. Didaerah-daerah tertentu yang buruk tata kelola keuangan daerahnya tapi WTP, terbitnya PP 14 Thn 2024 disambut pesismistis oleh ASN & masyarakat. Betapa tidak, baru saja terbit PP 14 Thn 2024 sudah disambut oleh Pemda-Pemda, pembayarannya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah (KKD) atau kemampuan kapasitas fiskal daerah (KKFD).

Penggunaan makna KKD atau KKFD di daerah-daerah tertentu yang buruk tata kelola keuangan daerahnya hanyalah bagian dari niat & alibi Pemda-Pemda untuk tidak membayar THR, Gaji13 & TPP, akibat dari Pemda-Pemda salah menyusun APBD, salah dalam menyusun anggaran kas & salah dalam mengatur arus kas, terbebani hutang pinjaman PEN daerah, hutang-hutang tahun anggaran (TA) sebelumnya hingga hutang-hutang thn berjalan.

Makna KKD atau KKFD dikaitkan dengan pembayaran THR, Gaji 13 & TPP membumi dikalangan ASN & masyarakat, seolah-oleh makna ini benar & betul. Tak ada pihak manapun yang meluruskan pemaknaan yang salah ini. Padahal makna sesungguhnya dari KKD atau KKFD digunakan untuk penganggaran, saat penyusunan APBD atau perubahan Perkada ttg Penjabaran APBD, bukan pada saat membayar THR, Gaji13 & TPP.

“Pembodohan” atas makna KKD atau KKFD kepada ASN & masyarakat berlanjut & terus berlanjut setiap TA kala Pemda-Pemda diperhadapkan dengan pembayaran THR, Gaji13 & TPP. Alasan KKD atau KKFD menjadi alasan yang paling jitu kala Pemda-Pemda tak mampu atau gagal bayar atas THR, Gaji13 & TPP.

Bagi saya, makna KKFD dalam pemberian THR & Gaji13 yang diatur pada Pasal 7 ayat (2) huruf e PP 14 Thn 2024 & makna KKD dalam pemberian TPP yang diatur dalam Pasal 58 ayat (1) PP 12 Thn 2019 digunakan disaat penganggaran, penyusunan APBD atau perubahan Perkada ttg Penjabaran APBD, bukan disaat melakukan pembayaran THR, Gaji13 & TPP. Apalagi makna KKD atau KKFD didahului dengan frasa “memperhatikan”, yang berarti dalam penganggaran THR, Gaji13 & TPP, maka KKD atau KKFD hanya menjadi perhatian atau hanya diperhatikan saja, bukanlah suatu keharusan.

Frasa yang paling tepat kala anggaran belanja THR, Gaji13 & TPP sudah dianggarkan dalam APBD atau melalui perubahan Perkada ttg Penjabaran APBD  namun Pemda-Pemda gagal membayar THR, Gaji13 & TPP, maka alasannya bukan KKD atau KKFD, tetapi “ketiadaan ketersediaan dana”.

Jika anggaran belanja THR, Gaji13 & TPP sudah dianggarkan dalam APBD atau perubahan Perkada ttg Penjabaran APBD, hingga batas waktu TA 31 Desember & gagal dalam penerapan manajemen kas hingga 31 Desember, maka hal ini menjadi hutang daerah yang harus disajikan dalam LKPD yang harus dikawal oleh BPK.

Dalam regulasi Indonesia terdapat 2 frasa & makna atas KKD yakni KKD itu sendiri & KKFD. Pengaturan KKD ditemui dalam PP 12 Thn 2019, PP 18 Thn 2017 & Permendagri 62 Thn 2017. Sedangkan pengaturan KKFD thn ini ditemui dalam PP 14 Thn 2024 & PMK No 84 Thn 2023 ttg Peta Kapasitas Fiskal Daerah.

MAKNA KKD (KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH)

Makna atas arti & maksud KKD tidak ditemuai dalam PP 12 Thn 2019 sebagai dasar penganggaran TPP. Dalam Pasal 58 ayat (1) diterangkan, Pemda dapat memberikan TPP kepada ASN dengan memperhatikan KKD. Hal ini berarti Pemda dapat memberikan TPP dimaknai Pemda dapat menganggarkan TPP dalam APBD. Jika sudah dianggarakan berarti Pemda mampu membayarnya tinggal tergantung ketersediaan dana.

Dengan menggunakan metode interpretasi atau penafsiran komparatif/perbandingan maupun penafsiran atau interpretasi sistematis/logis, maka makna atas arti & maksud KKD diatur dalam Permendagri 62 Thn 2017. KKD diartikan sebagai klasifikasi suatu daerah untuk menentukan kelompok KKD yang ditetapkan berdasarkan formula sebagai dasar penghitungan besaran TKI, Tunjangan Reses & Dana Operasional Pimpinan DPRD.

Penentuan kelompok KKD dihitung berdasarkan besaran pendapatan umum daerah dikurangi dengan belanja pegawai ASN. Pendapatan umum daerah terdiri atas PAD, DBH, & DAU. Belanja pegawai terdiri atas belanja gaji & tunjangan serta TPP. Data yang digunakan sebagai dasar penghitungan KKD merupakan data realisasi APBD 2 TA sebelumnya dari TA yang direncanakan. Hasil penentuan kelompok KKD, diformula kedalam pengelompokkan KKD kategori rendah, sedang & tinggi.

MAKNA KKFD (KEMAMPUAN KAPASITAS FISKAL DAERAH)

Dalam PP 14 Thn 2024 sebagai dasar pemberian THR & Gaji13 tak mengartikan & menjelaskan soal KKFD. Hanya saja pada Pasal 6 ayat (2) menerangkan, THR & Gaji13 yang anggarannya bersumber pada APBD bagi PNS & PPPK, terdiri atas: gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan/umum & TPP paling banyak sebesar diterima dalam 1 bln dengan memperhatikan KKFD & sesuai regulasi. Dimaksud dengan memperhatikan KKFD & sesuai regulasi adalah KKFD yang sudah diatur dalam regulai yang ditetapkan melalui PMK ttg Peta Kapasitas Fiskal Daerah, setiap thn diterbitkan & untuk penganggaran THR & Gaji13 TA 2024 telah diterbirkan PMK No 84 Thn 2023.

Pada Pasal 1 PMK No 84 Thn 2023, telah dijelaskan arti Kapasitas Fiskal Daerah (KFD) adalah KKD masing-masing daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah & penerimaan pembiayaan daerah tertentu dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan, belanja tertentu & pengeluaran pembiayaan daerah tertentu. Sedangkan Peta KFD diartikan sebagai gambaran KKD yang dikelompokkan berdasarkan rasio KFD. Berdasarkan rasio KFD kabupaten/kota daerah, KFD dikelompokkan dalam kategori: sangat rendah, rendah, sedang, tinggi & sangat tinggi.

Untuk 2 thn terakhir ini, maka KKFD daerah-daerah se Provinsi Gorontalo telah ditetapkan dalam PMK. Untuk penggunaan KKFD TA 2023 diatur dalam PMK 193/PMK.07/2022 dengan kategori: Provinsi Gtlo-Sangat rendah, Boalemo-Rendah, Kab. Gtlo-Sangat rendah, Kota Gtlo-Rendah, Pohuwato-Sedang, Bonbol-Rendah & Gorut-Sedang. Untuk penggunaan KKFD TA 2024 diatur dalam PMK 84 Thn 2023 dengan kategori: Provinsi Gtlo-Rendah, Boalemo-Sangat rendah, Kab. Gtlo-Sangat rendah, Kota Gtlo-Sedang, Pohuwato-Rendah, Bonbol-Sangat rendah & Gorut-Sedang.

Apakah dengan kategori KKFD sangat rendah, rendah, sedang di 2022 Pemprov Gtlo & daerah lainnya tak menganggarkan & tak membayar THR, Gaji13, TPP 50% dalam THR & Gaji13, serta TPP di TA 2023?, jawabnya tidak. Malahan Pemprov Gtlo & Pemkot Gtlo membayar full, lunas & tuntas.

Bagaimana dengan pembayaran THR, Gaji13, TPP 100% dalam THR & Gaji13, serta TPP di TA 2024, Pemda-Pemda se Provinsi Gtlo?. Kita tunggu bersama!. 

PENUTUP

Berhentilah memutarbalikkan frasa & ketentuan dalam regulasi. Berhentilah melakukan “pembohongan & pembodohan” atas makna regulasi demi suatu pembenaran atas kesalahan-kesalahan. Maknailah, frasa memperhatikan KKFD & KKD dalam pemberian THR & Gaji13 & TPP digunakan dalam penganggaran, penyusunan APBD atau perubahan Perkada ttg Penjabaran APBD, bukan untuk pembayaran.(*)

Harian Gorontalo Post (Persepsi) Kamis, 14 Maret 2024 : Kewenangan Pengenaan & Penetapan Ganti Kerugian Negara/Daerah pada Pemerintahan Daerah

Tinggalkan komentar

Kewenangan Pengenaan & Penetapan Ganti Kerugian Negara/Daerah pada Pemerintahan Daerah

Dr. YUSRAN LAPANANDA, SH., MH.
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah                               

YL-Dongkrak PAD

Pembentuk UU penyelesaian tuntutan ganti kerugian Negara/daerah & pengenaan serta penggantian kerugian Negara/daerah telah merumuskan berbagai macam pengaturannya kedalam UU, PP, Permendagri, Peraturan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), & Perkada. Salah satu yang diatur adalah soal kewenangan penyelesaian tuntutan ganti kerugian Negara/daerah, pengenaan ganti kerugian Negara/daerah & penggantian kerugian Negara/daerah.

Pengaturan mengenai kewenangan penyelesaian tuntutan ganti kerugian Negara/daerah, pengenaan ganti kerugian Negara/daerah & penggantian kerugian Negara/daerah dirumuskan kedalam PPU (peraturan perundang-undangan) yang berbeda & oleh lembaga yang berbeda pula

Jika pengenaan ganti kerugian Negara/daerah yang dilakukan oleh bendahara ditetapkan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 ayat (1) UU No 1 Thn 2004 ttg Perbendaharaan Negara yang secara teknis diatur melalui Peraturan BPK No 3 Thn 2007 ttg Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara. Sedangkan pengenaan ganti kerugian Negara/daerah yang dilakukan oleh pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah (Gubernur, Bupati & Walikota) sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 ayat (2) UU No 1 Thn 2004 ttg Perbendaharaan Negara yang secara teknis diatur melalui PP No 38 Thn 2016 ttg Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain jo Permendagri No 133 Thn 2018 ttg Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah terhadap Pegawai Negeri bukan Bendahara atau Pejabat Lain jo Perkada ttg Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah.

Kewenangan BPK dalam mengenakan & menetapkan kerugian Negara dibantu & dilaksanakan oleh TPKN (Tim Penyelesaian Kerugian Negara) yang dibentuk pada Kementerian/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah & jika diperlukan BPK membentuk TPN (Majelis Tuntutan Perbendaharaan). Sedangkan kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah (Gubernur, Bupati & Walikota) dalam mengenakan & menetapkan kerugian Negara dibantu & dilaksanakan oleh PPKD (Pejabata Penyelesaian Kerugian Negara), TPKD (Tim Penyelesaian Kerugian Daerah), MPPKD (Tim Pertimbangan Penyelesaian Kerugian Daerah).

Meskipun PPU soal kewenangan menetapkan ganti kerugian Negara/daerah sudah terbagi kedalam 2 kecabangan penyelesaian, pengenaan & penetapan ganti kerugian Negara/daerah baik terhadap bendahara maupn pegawai Negara bukan bendahara & pejabat lain, namun dalam pelaksanaan BPK masih mencampuradukannya, bisa saja hal ini dipengaruhi oleh ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU No 15 Thn 2004 ttg Pemeriksaan Pengelolaan & Tanggung Jawab Keuangan Negara, “BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian Negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian/lembaga.pemerintah daerah”.

KEWENANGAN PENGENAAN & PENETAPAN GANTI KERUGIAN NEGARA ATAS BENDAHARA

Kewenangan pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara menjadi kewenangan & ditetapkan oleh BPK. Hal ini diatur pada Pasal 62 ayat (1) UU No 1 Thn 2004, pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK.

UU No 15 Thn 2004, Pasal 22 ayat (4) telah mengatur tindak lanjut dari apa yang diatur dalam UU No 1 Thn 2004, tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah. Atas kewenangan membentuk tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara tersebut, maka BPK telah menetapkan Peraturan BPK No 3 Thn 2007.

Sangat jelas, pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK, dalam arti lainnya kewenangan pengenaan ganti kerugian negara/daerah oleh BPK hanya kepada bendahara selain dari itu bukan merupakan kewenangan BPK seperti pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bendahara.

Kewenangan pengenaan ganti kerugian negara/daerah oleh BPK pun telah diatur dalam Bab II Ruang Lingkup Pasal 2 Peraturan BPK No 3 Thn 2007 yang diterangkan. Peraturan  BPK ini mengatur tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara dilingkungan instansi pemerintah/lembaga negara & bendahara lainnya yang mengelola keuangan negara.

Pertanyaannya, apakah lembaga pengawasan fungsional selain BPK seperti Inspektorat Daerah mempunyai kewenangan untuk mengenakan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara. Saya memahaminya, Inspektorat Daerah tidak punya kewenangan untuk mengenakan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, oleh karena kewenangan tersebut mutlak kewenangan BPK. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan BPK No 3 Thn 2007, maka hasil pengawasan Inspektorat Daerah hanyalah salah satu informasi kerugian Negara yang dilakukan oleh bendahara yang harus diberitahukan kepada BPK untuk dilakukan pengenaan & penetapan oleh BPK. Hal ini berkesesuaian dengan ketentuan Pasal 7 Peraturan BPK No 3 Thn 2007, Atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja wajib melaporkan setiap kerugian negara kepada pimpinan instansi dan memberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah kegiatan negara diketahui, yang dilengkapi dengan Berita Acara Pemeriksaan Kas/Barang.

Kesimpulannya, kewenangan BPK hanya pada pengenaan ganti kerugian terhadap bendahara termasuk melakukan pemerikaan terhadap bendahara. Aparat pengawasan fungsional seperti Inspektorat Daerah dapat memeriksa bendahara, namun untuk pengenaannya tetap menjadi kewenangan BPK. Laporan atas temuan atasan langsung bendahara/kepala kantor/satuan kerja akibat perbuatan atau kelalaian bendahara, dan perhitungn ex offcio, maka pengenan ganti kerugian tetap menjadi kewenangan BPK.

KEWENANGAN PENGENAAN & PENETAPAN GANTI KERUGIAN NEGARA ATAS PEGAWAI NEGERI BUKAN BENDAHARA & PEJABAT LAIN

Kewenangan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara merupakan kewenangan & ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah (gubernur/bupati/walikota). Hal ini diatur pada Pasal 63 ayat (1) UU 1 Thn 2004, “pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota”. Dari ketentuan ini, maka kewenangan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara merupakan kewenangan mutlak & ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.

Bagaimana kedudukan hukum & legalitas terhadap temuan/rekomendasi dalam LHP (Laporan Hasil pemeriksaan) atas kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lainnya atas hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, Inspektorat Daerah & aparat pengawasan fungsional lainnya?. Kesemuanya itu hanyalah informasi belaka & bukan merupakan keputusan maupun penetapan akhir. Hal ini berkesesuain dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 PP No 38 Thn 2016 jo Pasal 9 Permendagri No 133 Thn 2018. Menurut kedua peraturan ini, informasi kerugian Negara/Daerah bersumber dari: (a). hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung; (b). Aparat Pengawasan Internal Pemerintah; (c). pemeriksaan BPK; (d). laporan tertulis yang bersangkutan; (e). informasi tertulis dari masyarakat secara bertanggung jawab; (f).  perhitungan ex-officio; dan/atau (g). pelapor secara tertulis.

Dengan demikian, temuan/rekomendasi yang berkenaan dengan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain atas hasil pemeriksaan BPK, Inspektorat Daerah & aparat pengawasan fungsional lainnya belum merupakan akhir dari keputusan/penetapan pengenaan ganti kerugian, namun hanya merupakan informasi dalam pengambilan keputusan/penetapan pengenaan ganti kerugian daerah oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati & Walikota).

Dalam mengenakan ganti kerugian Negara/daerah Kepala Daerah dibantu oleh PPKD (Pejabat Penyelesaian Kerugian Daerah) & TPKD (Tim Penyelesaian Kerugian Daerah). PPKD & TPKD akan memeriksa & menguji LHP BPK & LHP Inspektorat Daerah & aparat pengawasan fungsional lainnya. PPKD melalui TPKD akan memeriksa & menguji atas kronologis kejadian, bukti-bukti pendukung & terutama menguji perhitungan jumlah kerugian Negara/Daerah yang menjadi temuan/rekomendasi BPK, Inspektorat Daerah & aparat pengawasan fungsional lainnya.

Nanti setelah PPKD & TKPD usai bertugas, maka hasil verifikasi atas indikasi kerugian Negara/Daerah dilaporkan kepada Kepala Daerah & ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui Keputusan Kepala Daerah (Keputusan Gubernur, Bupati & Walikota) selanjutnya diberitahukan kepada BPK. Dari sinilah, dimulainya proses penggantian kerugian Negara/Daerah oleh SKPD, pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain.

Artkel ini bagian ketiga dalam buku Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah & Penggantian Kerugian Negara/Daerah Menghapus Pidana.(*)

Harian Gorontalo Post (Persepsi) Selasa, 5 Maret 2024 : Informasi, Verifikasi & Pelaporan Kerugian Negara/Daerah pada Pemerintahan Daerah

Tinggalkan komentar

Informasi, Verifikasi & Pelaporan Kerugian Negara/Daerah pada Pemerintahan Daerah

Dr. YUSRAN LAPANANDA, SH., MH.
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah

PPU (Peraturan Perundang-Undangan) ttg penyelesaian & penggantian kerugian Negara/daerah melalui tuntutan ganti kerugian Negara/Daerah terhadap bendahara maupun terhadap pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain telah ditata & diatur secara bertingkat & sederajat dalam beberapa PPU: (a). UU 17 Thn 2003 ttg Keuangan Negara; (b). UU 1 Thn 2004 ttg Perbendaharaan Negara; (c). UU 15 Thn 2004 ttg Pemeriksaan Pengelolaan & Tanggungjawab Keuangan Negara; (d). PP 38 Thn 2016 ttg Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain; (e). Permendagri 133 Thn 2018 ttg Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah terhadap Pegawai Negeri bukan Bendahara atau Pejabat Lain; (f). Peraturan BPK 3 Thn 2007 ttg Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara; (g). Perkada ttg Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah.

Namun demikian, Pemda-Pemda (Inspektorat Daerah) & BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) belum memahami & memaknai secara utuh & paripurna maksud yang terkandung dalam PPU yang mengatur khusus soal informasi, verifikasi & pelaporan kerugian Negara/Daerah, & secara umum atas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/daerah melalui tuntutan ganti kerugian Negara/Daerah terhadap bendahara maupun terhadap pegawai negeri bukan bendahara.

Jika memaknai secara utuh & paripurna soal penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah melalui tuntutan ganti kerugian Negara/Daerah terhadap bendahara maupun terhadap pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain, khususnya mengenai makna pengaturan soal informasi, verifikasi & pelaporan kerugian Negara/Daerah, maka hasil pemeriksaan BPK maupun hasil pemeriksaan Inspektorat Daerah hanyalah informasi belaka yang harus diverifikasi oleh PPKD (Pejabat Penyelesaian Kerugian Daerah) ex-officio Kepala Daerah yang dilaksanakan oleh Kepala SKPKD (Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah) selaku BUD (Bendahara Umum Daerah) ex-officio Kepala Badan/Dinas Keuangan Daerah, serta untuk verifikasi kerugian Negara/daerah terjadi pada lingkungan kerja SKPD dilakukan oleh Kepala SKPD masing-masing.

Dalam pelaksanaan tugas & wewenangnya PPKD membentuk TPKD (Tim Penyelesaian Kerugian Daerah). Lembaga TPKD adalah salah satu lembaga pengganti MP-TGR. Dengan berlakunya PP 38 Thn 201, maka lembaga MP-TGR tidak dikenal lagi sebagai lembaga yang menyelesaikan tuntutan ganti kerugian Negara/Daerah.

Informasi atas indikasi kerugian Negara/Daerah dari hasil pemeriksaan BPK & Inspektorat Daerah pada LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK maupun dalam LHP Inspektorat Daerah tidak serta merta ditindaklanjuti oleh Pemda-Pemda (SKPD-SKPD). Sangatlah keliru & salah jika informasi kerugian Negera/Daerah dalam LHP BPK maupun LHP Inspektorat serta merta ditindaklanjuti melalui penggantian kerugian Negara/Daerah, sebab LHP BPK & LHP Inspektorat Daerah hanyalah informasi kerugian Negara/Daerah belaka & belum final, harus “diperiksa & diuji” oleh PPKD melalui TPKD terhadap kronologis kejadian, bukti-bukti pendukung & terutama menguji perhitungan jumlah kerugian Negara/Daerah yang menjadi temuan/rekomendasi BPK/Inspektorat Daerah.

Nanti setelah PPKD & TKPD usai bertugas, maka hasil verifikasi atas indikasi kerugian Negara/Daerah dilaporkan kepada Kepala Daerah & ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui Keputusan Kepala Daerah selanjutnya diberitahukan kepada BPK. Dari sinilah, dimulai proses penggantian kerugian Negara/Daerah oleh SKPD, pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain.

Jika terjadi penggantian kerugian Negara/Daerah oleh SKPD-SKPD, pegawai Negara bukan bendahara, maupun pejabat lain hanya berdasarkan temuan/rekomendasi dalam LHP BPK atau temuan/rekomendasi dalam LHP Inspektorat Daerah, maka hal ini tidak sesuai prosedur & hanya merupakan bagian dari pengembalian kerugian Negara/Daerah bukan merupakan penggantian kerugian Negara/Daerah, sebab penggantian kerugian Negara/Daerah hanyalah yang dilakukan melalui proses penyelesaian & pengantian kerugian Negara/Daerah yang dilakukan oleh PPKD & TPKD ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui Keputusan Kepala Daerah.

Menurut pendapat saya, pengembalian kerugian Negara/Daerah berkesesuaian dengan ketentuan Pasal 4 UU 31 Thn 1999 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana”. Sedangkan, penggantian kerugian Negara/Daerah menghapus pidana, oleh karena dilakukan melalui proses penyelesaian & pengantian kerugian Negara/Daerah yang diatur dalam UU 17 Thn 2003, UU 1 Thn 2004 & UU 15 Thn 2004. Dari pendapat ini, maka “Pengembalian” kerugian Negara tidak mengapus pidana, sedangkan “Penggantian” kerugian keuangan Negara/Daerah menghapus pidana.

Skema yang terjadi saat ini, atas informasi temuan/rekomendasi berindikasi kerugian Negara/Daerah dalam LHP BPK atau LHP Inspektorat Daerah, tanpa verifikasi dari PPKD & TPKD serta belum adanya penetapan Kepala Daerah melalui Keputusan Kepala Daerah sudah dilakukan “pengembalian” bukan “penggantian” kerugian Negara/Daerah. Malahan belum diterbitkan LHP sudah dilakukan “pengembalian” kerugian Negara/Daerah. Dalam hal ini maka yang dirugikan adalah pihak yang mengembalikan kerugian Negara/Daerah karena apa yang dilakukan hanyalah pengembalian kerugian Negara/Daerah bukan penggantian kerugian Negara/ Daerah.

INFORMASI KERUGIAN NEGARA/DAERAH OLEH BENDAHARA

Dalam penyelesaian kerugian Negara/Daerah terdapat 2 kecabangan penyelesaian, yakni penyelesaian kerugian Negara/daerah oleh bendahara & penyelesaian kerugian Negara/daerah oleh pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain.

Informasi kerugian Negara/Daerah oleh bendahara berpedoman pada Peraturan BPK 3 Thn 2007. Hal ini dipertegas dalam Pasal 2 Peraturan BPK 3 Thn 2007, Peraturan BPK ini mengatur tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara di lingkungan instansi pemerintah/lembaga negara & bendahara lainnya yg mengelola keuangan negara.

Informasi kerugian Negara/ Daerah oleh bendahara bersumber dari: (a). pemeriksaan BPK; (b). pengawasan aparat pengawasan fungsional; (c). pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan kerja; (d). perhitungan ex-officio.

INFORMASI, VERIFIKASI & PELAPORAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH OLEH PEGAWAI NEGARI BUKAN BENDAHARA & PEJABAT LAIN

Untuk informasi kerugian Negara/Daerah oleh pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain diatur dalam Pasal 4 PP 38 Thn 2016 & Pasal 9 Permendagri 133 Thn 2018. Menurut kedua peraturan ini, informasi kerugian Negara/Daerah bersumber dari: (a). hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung; (b). Aparat Pengawasan Internal Pemerintah; (c). pemeriksaan BPK; (d). laporan tertulis yang bersangkutan; (e). informasi tertulis dari masyarakat secara bertanggung jawab; (f).  perhitungan ex-officio; dan/atau (g). pelapor secara tertulis.

Dari ketentuan ini, secara jelas pemeriksaan BPK atau temuan/rekomendasi BPK dalam LHP hanyalah informasi belaka & belum final. Temuan/rekomendasi dalam LHP BPK harus “diperiksa & diuji” oleh PPKD & TKPD, serta ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui Keputusan Kepala Daerah?. Mengapa demikian?. Hal ini dikarenakan, kewenangan pengenaan ganti kerugian Negara/Daerah untuk pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain adalah kewenangan Kepala Daerah, bukan BPK. BPK hanya berkewenangan atas pengenaan ganti kerugian Negara/Daerah terhadap bendahara saja. Hal ini diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU 1 Thn 2004, “pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK”, & Pasal 63 ayat (2) UU 1 Thn 2004, “pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota”.

Berdasarkan informasi kerugian Negara/Daerah antara lain dari BPK atau Inspektorat Daerah, PPKD wajib menindaklanjuti setiap informasi terjadinya kerugian Daerah dengan didahului verifikasi informasi. Verifikasi atas informasi kerugian Negara/Daerah dilakukan untuk memastikan indikasi Kerugian Negara/Daerah.

Pelaksanaan verifikasi atas informasi kerugian Negara/Daerah dilakukan dengan lingkup: (a). Verifikasi yang melibatkan pegawai negeri bukan bendahara di lingkungan SKPD dilaksanakan oleh Kepala SKPD. (b). Informasi kerugian daerah melibatkan pimpinan & anggota DPRD, verifikasi dilaksanakan oleh sekretaris DPRD. (c). Informasi kerugian daerah melibatkan kepala SKPD/kepala SKPKD, verifikasi dilaksanakan oleh Sekda. (d). Informasi kerugian daerah melibatkan Sekda, verifikasi dilaksanakan oleh Kepala Daerah. (e). Informasi kerugian daerah melibatkan pimpinan & anggota lembaga nonstruktural yang dibiayai APBD, verifikasi dilaksanakan oleh kepala sekretariat lembaga nonstruktural.

Hasil verifikasi atas indikasi kerugian Daerah dilaporkan kepada Kepala Daerah paling lama 4 hari kerja sejak diterimanya informasi kerugian Daerah. Selanjutnya, berdasarkan laporan hasil verifikasi, Kepala Daerah memberitahukan kepada BPK paling lama 3 hari kerja setelah diterimanya laporan.

Artkel ini bagian kedua dalam buku Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah & Penggantian Kerugian Negara/Daerah Menghapus Pidana.(*)

Harian Gorontalo Post (Persepsi) Selasa, 20 Februari 2024 : Asas & Konsistensi Penyelesaian & Penggantian Kerugian Negara/Daerah

Tinggalkan komentar

Asas & Konsistensi Penyelesaian & Penggantian Kerugian Negara/Daerah

Dr. YUSRAN LAPANANDA, SH., MH.
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah

Dana Pilkada

Saat ini Pemda-Pemda (Inspektorat Daerah) & BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam menyelesaikan & mengganti kerugian Negara/Daerah telah dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan (PPU) yang komplit, mulai dari UU, PP, Peraturan BPK, Permendagri hingga Perkada masing-masing daerah Provinsi, Kabupaten & Kota. PPU mengenai penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah telah mengatur prosedur, kewenangan, hingga lembaga penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah.

Delapan tahun lalu baru terbit PP 38 Thn 2016 tgl 12 Oktober 2016 ttg Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain. PP ini sangat dinantikan oleh Pemda-Pemda maupun BPK. Dalam kurung waktu 12 thn, PP ini baru terbit, padahal PP ini sebagai amanat UU 1 Thn 2004 tgl 14 Januari 2004 ttg Perbendaharaan Negara jo. UU 17 Thn 2003 tgl 5 April 2003 ttg Keuangan Negara.

Penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah bukanlah sebuah “dongeng”, bukan pula sebagai “komedian”, tak bisa dilaksanakan secara “asal-asalan”, sebab penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah jika dilakukan “asal-asalan” berakibat cacat hukum hingga batal hukum atas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah yang dilakukan, sehingga merugikan pihak-pihak (terperiksa/tertuntut) yang mengganti kerugian Negara/Daerah bergeser menjadi mengembalikan kerugian Negara/Daerah.

Penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah diatur dalam asas-asas: (a). UU 17 Thn 2003 ttg Keuangan Negara; (b). UU 1 Thn 2004 ttg Perbendaharaan Negara; (c). UU 15 Thn 2004 ttg Pemeriksaan Pengelolaan & Tanggungjawab Keuangan Negara; (d). PP 38 Thn 2016 ttg Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain; (e). Permendagri 133 Thn 2018 ttg Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah terhadap Pegawai Negeri bukan Bendahara atau Pejabat Lain; (f). Peraturan BPK 3 Thn 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara; (g). Perkada ttg Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah. 

ASAS-ASAS PENYELESAIAN & PENGGANTIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH

Jika dirunut asas-asas yang menjadi landasan hukum untuk menyelesaikan & mengganti kerugian Negara/Daerah diawali dengan pengaturan dalam UU 17 Thn 2003 ttg Keuangan Negara. Menurut UU 17 Thn 2003, pengaturan atas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah diatur dalam Pasal 35 Bab IX Ketentuan Pidana, Sanksi Administratif & Ganti Rugi. Pada pasal ini diterangkan: (1). Setiap pejabat negara & pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud. (2). Setiap orang yang diberi tugas menerma, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada BPK. (3). Setiap bendahara bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya. (4). Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur didalam UU mengenai perbendaharaan negara.

Dalam ketentuan ini terdapat beberapa esensi, yakni: (a). Hanya dikenal penggantian kerugian keuangan Negara/Daerah atas perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum atau lalai, bukan pengembalian kerugian Negara/Daerah; (b). Yang disasar dengan penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah adalah pejabat negara & pegawai negeri bukan bendahara serta bendahara; (c). Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur didalam UU mengenai perbendaharaan negara.

Atas “delegasi” Pasal 35 ayat (4) UU 17 Thn 2003, diaturlah penyelesaian kerugian Negara/Daerah sebagaimana yang diatur dalam Bab XI Pasal 59-67 UU 1 Thn 2004 ttg Perbendaharaan Negara. Namun demikian, pembuat UU (DPR & Pemerintah) tak mengatur secara paripurna soal penyelesaian kerugian Negara/Daerah, lebih lanjut “mendelegasikan” kembali melalui PPU lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Pasal 62 UU 1 Thn 2004, pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK & ketentuan lebih lanjut ttg pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam UU mengenai pemeriksaan pengelolaan & tanggungjawab keuangan negara.

Dari ketentuan ini diaturlah pengenaan ganti kerugian Negara oleh bendahara sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU 15 Thn 2004 ttg Pemeriksaan Pengelolaan & Tanggungjawab Keuangan Negara. Namun demikian pengaturan atas pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara tidak tuntas, kembali pembuat UU “mendelegasikan” tata cara penyelesaiaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur melalui Peraturan BPK. Hal ini diterangkan dalam Pasal 22 ayat (4) UU 15 Thn 2004, tata cara penyelesaian ganti kerugian Negara/Daerah terhadap bendahara ditetapkan BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah. Sesuai ketentuan ini terbitlah Peraturan BPK 3 Thn 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara.

Lain daripada itu, dalam Pasal 63 UU 1 Thn 2004 diterangkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota & tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan PP. Dari amanat Pasal 63 UU 1 Thn 2004 ini terbitlah PP 38 Thn 2016 tgl 12 Oktober 2016 ttg Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain.

Berdasarkan Pasal 63 UU 1 Thn 2004 yang ditetapkan pada tgl 14 Januari 2004, maka tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan PP baru diterbitkan pada tgl 12 Oktober 2016, sekitar 12 thn PP ini dinantikan oleh Pemda-Pemda, Kementerian/Lembaga & PK. Dalam penantian & untuk mengisi kekosongan hukum, Pemda-Pemda & Kementerian/Lembaga membentuk PPU sesuai kewenangannya masing-masing. Pemda-Pemda membentuk tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara melalui Perda atau Perkada hingga daerah-daerah menggunakan Permendagri 5 Thn 1997 ttg Tuntutan Perbendaharaan & Tuntutan Ganti Rugi Keuangan & Barang Daerah jo. Inmendagri 21 Thn 1997 ttg Petunjuk Pelaksanaan Permendagri 5 Thn 1997 ttg Tuntutan Perbendaharaan & Tuntutan Ganti Rugi Keuangan & Barang Daerah.

Tak berhenti pada terbitnya PP 38 Thn 2016. Menurut Pasal 54 ayat (2) PP 38 Thn 2016, ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian kerugian daerah diatur dengan Permendagri. Kemudian terbitlah Permendagri 133 Thn 2018 ttg Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah terhadap Pegawai Negeri bukan Bendahara atau Pejabat Lain.

KONSISTENSI PENGGUNAAN ASAS PENYELESAIAN & PENGGANTIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH

Dalam PPU yang sudah diterangkan diatas, maka asas-asas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah menganut 2 kecabangan penggunaan, yakni asas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah oleh bendahara & asas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah oleh pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain.

Untuk asas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah oleh bendahara berpedoman pada UU 17 Thn 2003, UU 1 Thn 2004, UU 15 Thn 2004 & Peraturan BPK 3 Thn 2007. Sedangkan asas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah oleh pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain berpedoman pada UU 17 Thn 2003, UU 1 Thn 2004, UU 15 Thn 2004, PP 38 Thn 2016, Permendagri 133 Thn 2018 & Perkada Provinsi, Kabupaten/Kota.

Inspektorat Daerah & BPK dalam penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah harus konsisten dengan asas-asas penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah, jangan mencampuradukan PPU dalam kecabangan penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah. Peraturan BPK 3 Thn 2007 hanya digunakan untuk penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah oleh bendahara, tak boleh Pemda & BPK menggunakannya untuk penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain. Begitu pula sebaliknya, PP 38 Thn 2016, Permendagri 133 Thn 2018 & Perkada Provinsi, Kabupaten/Kota jangan digunakan untuk penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah untuk bendahara.

Misalnya, penerapan SKTJM (Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak) oleh pemeriksa BPK maupun Inspektorat Daerah yang serta merta diterapkan kala ditemukan kerugian Negara/Daerah pada Bendahara & serta merta dilakukan penggantian kerugian Negara/Daerah, hal seperti ini dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan BPK 3 Thn 2017, “Dalam hal kasus kerugian negara diperoleh berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa  yang bekerja  untuk & atas nama BPK & dalam proses pemeriksaan  tersebut  bendahara  bersedia  mengganti  kerugian secara sukarela, maka bendahara membuat & menandatangani SKTJM dihadapan pemeriksa yang bekerja untuk & atas nama BPK”.

Namun, dalam hal penyelesaian & penggantian kerugian Negara/Daerah oleh pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain, penerapan SKTJM (Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak) oleh pemeriksa BPK maupun Inspektorat yang serta merta diterapkan kala ditemukan kerugian Negara/Daerah & serta merta dilakukan penggantian kerugian Negara/Daerah, maka Peraturan BPK 3 Thn 2007 tidak berlaku, yang digunakan adalah PP 38 Thn 2016, Permendagri 133 Thn 2018 & Perkada Provinsi, Kabupaten/Kota.

Adapun tahapan, prosedur, kewenangan & lembaga yang menyelesaikan penggantian kerugian Negara/Daerah ole pegawai negeri bukan bendahara & pejabat lain menunggu hasil pemeriksaan & keputusan TPKN/D (Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah) & PPKN/D (Pejabat Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah), bukan MPPKN/D (Majelis Pertimbangan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah) bukan pula hasil temuan/rekomendasi tim pemeriksa BPK maupun Inspektorat Daerah, sebab temuan/rekomendasi LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK maupun Inspektorat Daerah hanyalah informasi belaka terjadinya kerugian Negara/Daerah, bukan  dasar penggantian kerugian Negara/Daerah.

Artkel ini bagian kesatu dalam buku Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah & Penggantian Kerugian Negara/Daerah Menghapus Pidana.(*)

Harian Gorontalo Post (Persepsi) Rabu, 21 Februari 2023 : ADD & BH-PDRD sebagai Hak Pemerintah Desa

Tinggalkan komentar

ADD & BH-PDRD Sebagai Hak Pemerintah Desa

Dr. YUSRAN LAPANANDA, SH., MH.
Penulis adalah Penulis Buku Hukum Pengelolaan Keuangan Desa

PENDAHULUAN

Pengaturan soal Desa begitu dinamis. Perubahan & perbaikan dilakukan tiada hentinya guna mendapatkan formula yang dapat memenuhi kepentingan & kebutuhan masyarakat Desa. Perubahan & perbaikan tak terkecuali terhadap pengelolaan keuangan desa, penghasilan Pemdes, penyusunan APBDesa, sumber pendapatan Desa seperti ADD (alokasi dana desa);, Dana Desa; BH-PDRD (bagi hasil pajak daerah & retribusi daerah); bantuan keuangan dari APBD; PADesa (pendapatan asli desa); hibah & sumbangan pihak ketiga.

Pemdes dalam menyelenggarakan pemerintahan & pembangunan pembiayaannya didominasi dana & anggaran dari Pemerintah Pusat maupun Pemda melalui Dana Desa, ADD, BH-PDRD, & bantuan keuangan dari APBD. ADD adalah sumber utama untuk membiayai penghasilan tetap Kades, Sekdes, & perangkat Desa 1ainnya. Sehingga, betapa pentingnya ADD & BH-PDRD bagi Pemdes, baik terhadap besaran alokasinya maupun ketepatan waktu penyalurannya.

Namun demikian, penyaluran ADD & BH-PDRD oleh Pemda-Pemda bukanlah sesuatu prioritas atau kewajiban utama namun hanyalah pilihan dari berbagai belanja pilihan, padahal sumber dana ADD berasal dari dana perimbangan DAU (dana alokasi umum) & DBH (dana bagi hasil) setelah dikurangi DAK (dana alokasi khusus) yang ditransfer Kementerian Keuangan setiap bulan ke RKUD (rekening kas umum daerah). Sedangkan BH-PDRD sumber dananya dari hasil penerimaan PDRD yang diperoleh oleh Pemda-Pemda setiap bulan. Bukan itu saja, besaran alokasi ADD & BH-PDRD dibuat sedemikian, sehingga alokasinya dibuat seminimal mungkin, padahal di UU Desa dinyatakan alokasi ADD & BH-PDRD minimal 10%.

SUMBER-SUMBER PENDAPATAN DESA

PADesa adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan desa berdasarkan hak asal usul & kewenangan skala lokal Desa. Menurut UU Desa, sumber-sumber pendapatan desa terdiri dari: (a). PADesa, terdiri atas: hasil usaha, hasil aset, swadaya & partisipasi, gotong royong, & lain-lain PADesa; (b). alokasi APBN atau dana desa; (c). BH-PDRD (bagian dari hasil PDRD Kabupaten/Kota; (d). ADD yang merupakan bagian dari dana perimbangan (DAU & DBH) yang diterima Kabupaten/Kota setelah dikurangi DAK; (e). bantuan keuangan dari APBD Provinsi & Kabupaten/Kota; (f). hibah & sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; (g). lain-lain pendapatan desa yang sah.

Selain itu, dikenal konstruksi pendapatan desa sebagaimana diterangkan dalam Permendagri 20 Thn 2018 ttg Pengelolaan Keuangan Desa. Pendapatan desa yaitu semua penerimaan desa dalam 1 TA yang menjadi hak Desa & tidak perlu dikembalikan oleh desa.

Pendapatan desa diklasifikasikan menurut kelompok, jenis & objek pendapatan. Kelompok pendapatan desa terdiri dari kelompok: (a). PADesa; (b). transfer; & (c). pendapatan lain. Kelompok PADesa terdiri atas jenis: (a). hasil usaha; (b). hasil aset; (c). swadaya, partisipasi & gotong royong; & (d). PADesa lain. Hasil usaha desa antara lain bagi hasil BUM Desa & tanah bengkok. Hasil aset, antara lain, tanah kas desa, tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, jaringan irigasi, & hasil aset lainnya sesuai dengan kewenangan berdasarkan hak asal-usul & kewenangan lokal berskala desa. Swadaya, partisipasi & gotong royong adalah penerimaan yang berasal dari sumbangan masyarakat desa. PADesa lain antara lain hasil pungutan Desa.

Kelompok transfer, terdiri atas jenis: (a). dana desa; (b). BH-PDRD; (c). ADD; (d). bantuan keuangan dari APBD Provinsi; & (e). bantuan keuangan dari APBD Kabupaten/Kota. Bantuan keuangan dari APBD Provinsi & Kabupaten/Kota dapat bersifat umum & khusus.

Kelompok pendapatan lain, terdiri atas: (a). penerimaan dari hasil kerja sama desa; (b). penerimaan dari bantuan perusahaan yang berlokasi di desa; (c). penerimaan dari hibah & sumbangan dari pihak ketiga; (d). koreksi kesalahan belanja tahun anggaran sebelumnya yang mengakibatkan penerimaan di kas desa pada tahun anggaran berjalan; (e). bunga bank; & (f). pendapatan lain Desa yang sah. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh desa berasal dari BUMDesa, pengelolaan pasar desa, pengelolaan kawasan wisata skala desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam & tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya & tidak untuk dijualbelikan. 

ADD (ALOKASI DANA DESA)

Pemda kabupaten/kota wajib & harus mengalokasikan dalam APBD setiap TA. ADD dialokasikan paling sedikit 10% dari dana perimbangan (DAU & DBH) yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK (Dana Alokasi Khusus).

ADD dibagi kepada setiap Desa dengan mempertimbangkan: (a). kebutuhan penghasilan tetap Kades & perangkat Desa; & (b). jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, & tingkat kesulitan geografis desa. Ketentuan mengenai: (a). Tata cara pengalokasian ADD; (b). pengalokasian ADD & pembagian ADD kepada setiap desa diatur dengan Perbup/Perwako. Perbup/Perwako soal tata cara pengalokasian ADD ditetapkan sekali & dapat dilakukan perubahan atau penggantian. Sedangkan Perbup/Perwako soal pengalokasian ADD & pembagian ADD kepada setiap Desa ditetapkan setiap tahun sebagai dasar penganggaran & penyusunan APBDesa.

Perbup/Perwako mengenai tata cara pengalokasian ADD & Perbup/Perwako mengenai pengalokasian ADD & pembagian ADD kepada setiap Desa wajib disampaikan paling lambat bulan Oktober TA berjalan kepada menteri Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Mendagri & Menteri terkait.

Sesungguhnya penggunaan ADD sebagai penghasilan tetap Kades, Sekdes, & perangkat desa 1ainnya yang dianggarkan dalam APBDesa yang bersumber dari ADD. Seandainya, ADD tidak mencukupi untuk mendanai penghasilan tetap minimal Kades, Sekdes, & perangkat Desa lainnya dapat dipenuhi dari sumber 1ain dalam APBDesa selain Dana Desa.

Selain itu, dalam UU Desa & PP sebagai tindaklanjut UU Desa mengatur seandainya kabupaten/kota tidak mengalokasikan ADD paling sedikit 10%, Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan (DAU/DBH) setelah dikurangi DAK yang seharusnya disalurkan ke desa. Ketentuan mengenai tata cara penundaan dan/atau pemotongan dana perimbangan (DAU & DBH) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikoordinasikan dengan Mendagri. 

BH-PDRD (BAGI HASIL PAJAK DAERAH & RETRIBUSI DAERAH)

Selain ADD, sumber pendapatan desa yang wajib & harus dianggarkan dalam APBD Kabupaten/Kota adalah BH-PDRD (Bagi Hasil Pajak Daerah & Retribusi Daerah). Pemerintah kabupaten/kota wajib & harus mengalokasikan BH-PDRD kabupaten/kota kepada Desa paling sedikit 10% dari realisasi penerimaan hasil pajak & retribusi daerah kabupaten/kota.

Pengalokasian BH-PDRD dilakukan berdasarkan ketentuan: (a). 60% dibagi secara merata kepada seluruh Desa; dan (b). 40% dibagi secara proporsional realisasi penerimaan hasil pajak & retribusi dari Desa masing-masing. Tata cara pengalokasian BH-PDRD & Pengalokasian BH-PDRD kabupaten/kota kepada Desa ditetapkan dengan Perbup/Perwako.

Perbup/Perwako soal tata cara pengalokasian BH-PDRD ditetapkan sekali & dapat dilakukan perubahan atau penggantian. Sedangkan Perbup/Perwako soal pengalokasian BH-PDRD & pembagian BH-PDRD kepada setiap Desa ditetapkan setiap tahun sebagai dasar penganggaran & penyusunan APBDesa. 

BANTUAN KEUANGAN DARI APBD PROVINSI & KABUPATEN/KOTA

Lain dari pada itu, sumber pendapatan desa lainnya yang berasal dari Pemerintah Provinsi & Pemerintah Kabupaten/Kota adalah bantuan keuangan dari APBD Provinsi & Kabupaten/Kota. Bantuan keuangan dari APBD kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah.

Bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi & Pemerintah Kabupaten/Kota dapat bersifat umum atau khusus. Bantuan keuangan yang bersifat umum peruntukan & penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada desa penerima bantuan dalam rangka membantu pelaksanaan tugas Pemda di Desa. Sedangkan, bantuan keuangan yang bersifat khusus peruntukan & pengelolaannya ditetapkan oleh Pemda pemberi bantuan dalam rangka percepatan pembangunan Desa & pemberdayaan masyarakat.

PENUTUP

Betapa pentingnya ADD bagi Pemdes sehingga pembuat & pembentuk UU mengatur sanksi atas Pemda-Pemda yang tak mengalokasikan & tak menyalurkan ADD. Menurut UU Desa, bagi Pemda yang tidak memberikan ADD, Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan (DAU/DBH) setelah dikurangi DAK yang seharusnya disalurkan ke Desa.

ADD & BH-PDRD adalah hak Desa & Pemdes yang sudah diatur pengaturannya dalam UU & PP. Pemda-Pemda tinggal mengekesekusi & menindaklanjutinya melalui Perda APBD Kabupaten/Kota. Tak ada alasan apapun untuk tidak menganggarkannya dalam APBD & menyalurkannya ke desa-desa, sebab ADD bersumber dari APBN yang disalurkan melalui DAU & DBH. Begitu pula, BH-PDRD sebab BH-PDRD bersumber dari realisasi penerimaan PDRD yang diterima Pemda-Pemda setiap waktu, hari & bulan.

Imbas dari Pemda tak menganggarkan ADD & BH-PDRD & tak membayar atau tak menyalurkan ADD & BH-PDRD ke desa-desa, pengahasilan tetap atau gaji Kades, Sekdes & perangkat desa lainnya terganggu hingga tak terbayar.(*)

Older Entries